Pendawa || Bojonegoro 09/3/25 – Dugaan keterlibatan oknum anggota kepolisian dalam pengkondisian kasus pupuk ilegal semakin santer diperbincangkan warga desa Sudah. Informasi terbaru di Desa Sudah Kecamatan Malo Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur dari seorang warga bahwa QMR seorang tersangka dalam kasus ini, diduga dimintai uang sebesar Rp150 juta oleh oknum Polda Jatim agar masalah hukumnya dianggap selesai.
Kasus ini berawal ketika QMR ditangkap di desa Sudah pada 5/3/25 terkait dugaan penjualan pupuk Subsidi diatas HET yang di beli dari kabupaten Lamongan. Namun setelah di tangkap, alih-alih menjalani proses hukum, ia justru mendapat tekanan untuk membayar sejumlah uang agar bisa lepas dari jeratan hukum. Saat ini, QMR berstatus sebagai tahanan luar setelah dilakukan penjaminan sementara menggunakan KTP Kepala Desa Sudah (Agus), Kecamatan Malo, Kabupaten Bojonegoro.
Menurut keterangan Kepala Desa Sudah (Agus) hal itu dilakukan karena merasa kasihan dengan QMR yang istrinya sedang hamil tua.
“Setelah di bawa Polda langsung saya susul ke Polda Mas, dan saya minta untuk dilepaskan dengan jaminan saya sebagai Kepala Desa”terang Agus.
Lebih lanjut Agus juga menjelaskan bahwa dengan penangguhan penahanan tersebut tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk Polda, hanya diwajibkan absen setiap hari Senin dan Kamis.
“Saya tidak mengeluarkan uang sepeserpun Mas, hanya memberikan jaminan KTP saya dan QMR diwajibkan absen setiap hari Senin dan Kamis”terangnya.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan integritas aparat penegak hukum. Jika benar oknum Polda meminta uang untuk “mengamankan” kasus ini, maka tindakan tersebut bukan hanya pelanggaran etik, tetapi juga masuk dalam kategori tindak pidana pemerasan dan penyalahgunaan wewenang, sebagaimana diatur dalam beberapa regulasi berikut:
1. Pasal 12 Huruf e Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji yang berhubungan dengan jabatannya.
2. Pasal 368 KUHP, yang mengatur tindak pemerasan dengan ancaman yang dilakukan oleh aparat penegak hukum.
3. Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Polri, yang melarang anggota kepolisian menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Kasus ini semakin menambah daftar panjang dugaan praktik mafia hukum di tingkat kepolisian. Masyarakat dan berbagai pihak mendesak agar kasus ini diusut secara transparan dan independen. Jika benar ada oknum Polda yang meminta uang tebusan demi membebaskan tersangka, maka ini adalah bentuk korupsi dan penyalahgunaan terhadap tugas kepolisian.
Hingga saat ini, pihak kepolisian setempat belum memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan ini. Jika tidak ada tindakan tegas dari pimpinan Polri, maka kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum akan semakin merosot.
Kasus ini juga menjadi tamparan keras bagi komitmen pemberantasan mafia pupuk yang telah lama merugikan petani. Alih-alih memberantas, aparat justru diduga menjadikan kasus ini sebagai ajang mencari keuntungan pribadi.
Masyarakat kini menunggu langkah konkret dari pihak berwenang, termasuk Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), untuk mengusut kasus ini hingga tuntas dan menindak tegas oknum yang terlibat.(tim)