Disbudpar Jatim; Canangkan Program Seni Topeng Menjawab Zaman

Picsart 25 05 09 20 10 57 205 scaled

Pendawa || Malang – Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar), telah mencanangkan program “Topeng untuk Dunia” sebagai bentuk komitmen terhadap pelestarian

budaya lokal. Inisiatif ini tidak hanya berfokus pada aspek pertunjukan semata, tetapi juga mencakup
pengembangan literatur, kerajinan tangan, serta penanaman nilai-nilai filosofis yang terkandung dalam cerita Panji.

Evy Afianasari selaku Kepala Disbudpar Jatim menjelaskan bahwa Program tersebut sekaligus menjadi apresiasi bagi para seniman dan budayawan yang selama ini konsisten menjaga kelangsungan tradisi topeng. Sasaran utamanya tentu saja generasi
muda, khususnya kelompok usia Gen-Z, yang diharapkan dapat menjadi penerus estafet pelestarian
budaya ini.

Akar dan Generasi Muda

Cerita Panji memiliki akar sejarah yang panjang dalam kebudayaan Jawa Timur, dengan catatan awal berasal dari periode Kerajaan Kediri. Narasi epik ini kemudian berkembang pesat pada masa Kerajaan Majapahit, menjadi semacam cerminan nilai-nilai sosial masyarakat Jawa kala itu.

Yang menarik menurut Evy Afianasari dari kisah Panji adalah kemampuannya bertahan selama berabad-abad karena mengandung pesan universal tentang moralitas, pencarian identitas, dan keadilan sosial. Nilai-nilai inilah yang coba diangkat kembali oleh Disbudpar Jatim melalui pendekatan yang lebih sesuai dengan konteks kekinian.

Sebagai pembuka rangkaian program, telah digelar pertunjukan dramatari Topeng Panji Malangan berjudul “Rara Tangis Rara Jiwa” pada 7 Maret 2025 lalu. Kolaborasi antara Disbudpar Jatim dengan STKW Surabaya dalam produksi ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk menghubungkan dunia akademik dengan praktik kebudayaan.

Pertunjukan tersebut sengaja dirancang dengan interpretasi baru namun tetap mempertahankan struktur dasar dan estetika yang menjadi ciri khas Topeng Malangan. Tahap berikutnya akan menampilkan lakon “Panji Laras” pada 4 Mei 2025 lalu di Taman Krida Budaya Malang.

“Cerita ini mengisahkan perjalanan hidup seorang pangeran yang terpisah dari kerajaannya karena konspirasi politik, kemudian tumbuh sebagai pemuda desa yang memiliki kemampuan luar biasa,” kata Evy Afianasari

Kata dia plot ceritanya mengandung unsur pengakuan identitas (anagnorisis) yang khas dalam struktur narasi klasik, di mana tokoh utama pada akhirnya menemukan jati dirinya yang ebenarnya.

Dalam versi “Panji Laras”, konflik utama berpusat pada pertarungan ayam jago yang menjadi metafora perjuangan kelas sosial. Ayam milik Panji yang berasal dari kalangan bawah mampu mengalahkan semua ayam milik penghuni kerajaan, simbol dari kekuasaan yang mapan.

Adegan klimaks ketika raja menyadari bahwa Panji adalah putranya yang hilang mengandung pesan tentang mobilitas sosial dan pengakuan terhadap meritokrasi. Rangkaian pertunjukan ini akan berlanjut sepanjang tahun 2025 dengan melibatkan berbagai sanggar seni dari berbagai daerah di Jawa Timur.

Puncaknya direncanakan akan digelar sebuah pertunjukan kolosal yang melibatkan seluruh elemen masyarakat pendukung budaya Panji. Strategi bertahap ini menunjukkan pendekatan komprehensif dalam
membangun apresiasi masyarakat terhadap kesenian topeng.

Evy Afianasari menjelaskan bahwa Wayang Topeng Malangan sebenarnya merupakan medium penyampaian nilai-nilai luhur yang perlu terus diperbarui penyajiannya.

Menurutnya, tanpa adaptasi terhadapperkembangan zaman, suatu tradisi berisiko kehilangan relevansinya dengan masyarakat kontemporer.

Pernyataan Evy mencerminkan kesadaran akan pentingnya keseimbangan antara preservasi dan inovasi dalam pelestarian budaya.(Lutfi.R)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

WhatsApp
URL has been copied successfully!