Pendawa || Bojonegoro – 12/3//2025 (Tangisan Rakyat Jelata) Paerah, seorang janda tua petani dari Desa Ngelo, duduk di beranda rumah kayunya yang sederhana. Wajahnya yang penuh keriput mencerminkan bertahun-tahun kerja kerasnya di hutan. Ia telah menghabiskan puluhan tahun menanam dan merawat lahan yang kini tergusur oleh pembangunan Bendungan Karangnongko.
Dua tahun lalu, pemerintah berjanji memberikan ganti rugi kepada Kelompok Tani Hutan (KTH) Margo Tani atas lahan mereka yang terdampak. Namun, hingga hari ini, janji itu masih sebatas tulisan di atas kertas. Setiap kali Paerah dan teman-temannya menanyakan kepastian, mereka hanya diberi alasan yang berulang-ulang.
Panuri, ketua kelompok tani, mengumpulkan para petani di lahan hutan yang masih penuh semak belukar. “Kita sudah cukup bersabar,” katanya tegas. “Sudah saatnya kita turun ke jalan, agar mereka mendengar suara kita.”
Heli Supangat, pendamping mandiri perhutanan sosial yang selalu mendukung perjuangan petani, memastikan semua persiapan berjalan lancar. Surat pemberitahuan ke Polres Bojonegoro sudah siap, tinggal menunggu waktu yang tepat untuk disampaikan.
Paerah tidak suka keributan, tapi kali ini ia tahu bahwa diam saja bukan pilihan. Baginya, tanah adalah nyawa. Jika lahan mereka hilang tanpa ada ganti rugi yang jelas, bagaimana mereka bisa bertahan?
Paerah membayangkan Hari demo telah tiba. Ratusan petani berbondong-bondong menuju kantor pemerintah kabupaten Bojonegoro. Mereka membawa spanduk dan berorasi dengan lantang. Paerah, yang biasanya pendiam, ikut berdiri di barisan depan, menggenggam erat poster bertuliskan “Ganti Rugi Kami, Hak Kami!”
Matahari semakin tinggi, dan belum ada tanda-tanda pejabat keluar menemui mereka. Tapi Paerah dan para petani tetap bertahan. Mereka tidak akan pulang sebelum suara mereka didengar.
Hari itu bukan sekadar demo bagi Paerah. Itu adalah bukti bahwa petani kecil pun bisa berjuang demi haknya.(tim)
