Pendawa||Pembahasan tentang dugaan tindak pidana pengalihan obyek jaminan fidusia yang diduga dilakukan oleh (RSP) yakni Istri dari Klien saya, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) YAPERMA sekaligus Advokat/Pengacara pada Kantor Hukum EMAS Law Firm, tertarik mendalaminya dan mengulasnya dari optik lain yaitu terjadinya konflik norma dari undang-undang yang digunakan oleh Penyidik Reskimum Polda Banten.
Sebagaimana didalilkan dalam BAP (Berita Acara Pemeriksaan), RSP diduga melanggar Pasal Pasal 378 KUHPidana dan/atau Pasal 372 KUHPidana dan atau Pasal 36 Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Ketiga pasal dari dua undang-undang yang digunakan Penyidik tersebut, yang dua adalah mengatur tindak pidana umum (General) dan satu lagi tindak pidana yang lebih khusus (Specialis) bidang memindahtangankan obyek jaminan fidusia.
Terjadi konflik norma dalam dugaan tidak pidana yang dipersangkakan ini.
Ketika terjadi konflik norma, maka asas-asas hukum digunakan untuk membantu menyelesaikan konflik norma tersebut. Setidaknya ada tiga asas yang digunakan dalam menyelesaikan konflik norma yaitu lex superior derogat legi inferiori (the higher rule prevails over the lower), lex posterior derogat legi priori (the later rule prevails over the earlier) dan lex specialis derogat legi generali (the more specifi rule prevails over the less specific).
Ulasan saya kali hanya mengacu pada penyelesaian konflik norma dengan lex specialis derogat legi generali (the more specifi rule prevails over the less specific) karena lebih relevan dengan norma hukum yang digunakan.
Berdasarkan kronologis yang saya dapatkan, bahwa perbuatan yang diduga dilakukan oleh RSP tidak memenuhi unsur sebagai tindak pidana Penipuan dan/atau Penggelapan. Tulisan ini hanya melihat optik yang berbeda, yaitu dari undang-undang yang dipergunakan penyidik adalah undang-undang yang berkonflik satu sama lain.
Lex Specialis Derogat Legi Generali
Asas lex specialis derogat legi generali memiliki makna undang-undang (norma aturan hukum) yang khusus meniadakan keberlakuan undang-undang (norma/aturan hukum) yang bersifat umum.
Asas ini sudah dikenal sejak zaman Kekaisaran Romawi sebagai buah pemikiran Aemilius Papinianus, seorang ahli hukum Romawi kelahiran Syria. Menurutnya kekhususan sebuah norma lebih diutamakan daripada norma yang bersifat umum. Menurutnya, aturan khusus lebih relevan dan kompatibel dan lebih sesuai dengan kebutuhan hukum dan kebutuhan subjek hukum yang tidak mampu atau kurang mampu dijangkau oleh ketentuan umum.Karena itu, ketika ada perbuatan yang diatur dalam ketentuan umum dan juga ketentuan khusus, terjadi konflik norma yang harus segera diselesaikan (Nurfaqih Irfani,2020)
Menurut Hans Kelsen (1991), konflik norma (allgemeine der normen) atau dalam Bahasa Inggris disebut the conflict rules, terjadi apabila antara apa yang diperintahkan dalam ketentuan suatu norma dengan apa yang diperintahkan dalam norma lainnya tidak kompatibel/tidak cocok sehingga mematuhi atau melaksanakan salah satu norma tersebut akan niscaya atau mungkin menyebabkan pelanggaran terhadap norma lainnya. Dengan demikian konflik norma terjadi ketika objek yang diatur saling bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, karena itu harus diterapkan salah satu saja, sehingga norma lainnya harus dikesempingkan.
Dalam konteks hukum pidana, konflik norma juga terjadi ketika kedua norma tersebut mengatur perbuatan terlarang yang sama tetapi memiliki sanksi yang berbeda,atau mengatur perbuatan yang terlarang yang sama dan sanksi yang sama namun norma yang satu lebih khusus dibandingkan dengan norma yang lain. Oleh karena itu, asas lex specialis derogat lex generali digunakan untuk menyelesaikan konflik ini.
Menurut Hart, asas ini mengatur tentang pembatasan kewenangan aparat penegak hukum dalam menentukan hukum mana yang berlaku dan diterapkan. Dengan kata lain memberikan batasan atas tindak represif oleh aparat negara atas dugaan adanya tindak pidana. Ancel menambahkan bahwa dalam tahap aplikasi, asas lex specialis derogat legi generali merupakan suatu asas yang mengatur kewenangan, bukan terkait dengan perumusan delik. Dia menambankan bahwa asas ini merupakan suatu games-rules dalam penerapan hukum.
Asas ini penting bagi penegak hukum, dalam menerapkan aturan hukum mana yang diberlakukan atas suatu peristiwa konkrit tertentu yaitu aturan yang bersifat khusus.
Secara doktrin ada dua cara pandang dalam menentukan ketentuan khusus ini yaitu cara pandang logis (logische beschouwing) dan cara pandang juridis (jurisdische beschouwing). Menurut Enschede dalam tulisannya yang berjudul “Lex specialis derogat legi generali” (1963), pandangan secara logis mengatakan bahwa suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain,juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum.Pandangan ini juga disebut sebagai suatu logische specialiteit atau sebagai suatu kekhususan secara logis.
Sementara itu dalam pandangan yuridis dikatakannya suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsur dari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteitatau systematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis (Alvi Syahrin, 2013).
Bagir Manan mantan Ketua Mahkamah Agung mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang dapat dipertimbangkan dan pedoman dalam menerapakan asas ini yaitu :
Pertama,ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut. Kedua, ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan lex generali. Ketiga, ketentuan lex specialis harus brada dalam lingkungan hukum (rezim) yang sama dengan lex generali. Untuk yang bagian yang ketiga ini Bagir memberikan contoh, ketentuan specialis dan generalis ini memiliki genus yang sama, misalnya ketentuan perdata dengan ketentuan perdata, ketentuan pidana dengan ketentuan pidana.
Asas lex specialis derogat legi generali ternyata juga diatur dalam dalam Pasal 63 ayat(2)KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal ini digunakan sebagai filter dalam menentukan validitas keberlakuan suatu peraturan ketika perbuatan pidana atau dugaan tindak pidana diatur dalam dua undang-undang yang berbeda dengan kadar aturan yang berbeda atau mungkin kadar sanksi yang berbeda pula, maka dipilihlah aturan yang khusus sebagai aturan yang valid.
Dengan kata lain, aturan yang bersifat umum tidak memiliki validity lagi untuk diterapkan.
Pengaturan Tindak Pidana Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia
Sebagaimana uraian saya tentang tindak pidana Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia, bahwa pengaturan tindak pidana Pengalian Obyek Jaminan Fidusia diatur dalam Pasal 36 Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Pasal 378 KUHPidana dan/atau Pasal 372 KUHPidana tentang Tindak pidana Penipuan dan atau Tindak pidana Penggelapan. Jika mengacu pada asas lex specialis deregot legi generali, maka dapat dianalisa sebagai berikut:
Pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 menyatakan perbuatan yang dilarang atau objek normanya yaitu tentang tindak pidana mengalihkan, menggadaikan, atau menyewakan Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)yang dilakukan tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari Penerima Fidusia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.00,-(lima puluh juta rupiah).
Sementara itu Pasal 378 KUHPidana menyatakan perbuatan yang meliputi menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun dan Pasal 372 KUHPidana menyatakan perbuatan yang meliputi dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Jadi kedua norma tersebut memiliki kemiripan atas perbuatan yang dilarang, dan bisa ditafsirkan sebagai norma yang sama atau dalam bahasa Bagir Manan sebagai norma direzim yang sama yaitu tentang tindak pidana Pengalihan Obyek, sehingga asas lex specialis derogat legi generali berlaku atau diperlakukan. Terjadi konflik norma antara Pasal 36 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Pasal 378 KUHPidana dan Pasal 372 KUHPidana Tentang Penipuan dan atau Penggelapan.
Pasal 378 KUHPidana dan Pasal 372 KUHPidana dari sifatnya adalah ketentuan generali,karena mengatur tentang tindak pidana umum tidak spesifik (specilis) mengatur tentang tindak pidana di bidang Obyek Jaminan Fidusia yang secara factual obyeknya (Kendaraan Roda empat) didapat bukan dari hasil kejahatan tetapi didapat dari Fasilitas Pembiayaan secara Resmi,Perjanjian Pembiayaan dibuat Akta Notariel dan didaftarkan Sertifikat Jaminan fidusia di Kantor Menteri Hukum dan Hak asasi manusia (Menkum-ham). Karena itu, Pasal 378KUHPidana dan/atau Pasal 372 KUHPidana tidak kompatibel/tidak cocok digunakan dalam tindak pidana yang objek normanya adalah Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia.
Kesimpulannya Pasal yang dipersangkakan oleh penyidik merupakan pasal-pasal yang berkonflik satu sama lain,sehingga harusnya yang digunakan adalah hanya Pasal 36 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. Sedangkan Pasal 378 KUHPidana dan/atau Pasal 372 KUHPidana tidak kompatibel digunakan dalam mempersangkakan dan mendakwa RSP.
Dengan demikian penyidik Reskrimum Polda Banten telah melakukan pelanggaran asas lex specialis derogat legi generali dan sekaligus melanggar Pasal 63 ayat (2) KUHP, karena seharusnya tidak mengawinkan secara paksa ketiga ketentuan tersebut dalam kasus ini. Jika pun ini dinilai sebagai dugaan tindak pidana, maka pasal yang harus dipersangkakan harusnya hanyalah ketentuan yang ada di dalam Pasal 36 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dan tidak perlu menghilangkan kebebasan RSP yang masih merawat bayi berusia 5(lima) Tahun.
Pelanggaran Pasal 63 ayat (2) KUHP yang dilakukan Penyidik Reskrimum Polda Banten telah menyebabkan tersangka RSP ditahan dan dirampas kemerdekaannya dengan cara ditempatkan di RUTAN POLDA BANTEN.
Jika sejak awal penyidik faham asas ini, maka penyidik hanya menggunakan Pasal 36 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia yang ancaman pidananya penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp.50.000.000,-(lima puluh juta rupiah), sehingga tentu saja RSP tidak harus ditahan sehingga tetap dapat merawat bayinya yang masih berusia 5 (lima) Tahun. Oleh karena Penahanan seorang tersangka berdasarkan Pasal 21 (4) KUHAP adalah jika perbuatan yang dipersangkakan diancam pidana minimal 5 (Lima) tahun atau tindak pidana tertentu, tindak pidana Pengalihan Obyek Jaminan Fidusia bukan termasuk di dalamnya. Dugaan pelanggaran Pasal 36 Undang-Undang No. 42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia adalah maksimum 2tahun penjara. Dan oleh karena penyidik juga menggunakan ketentuan Pasal 378 KUHPidana dan/atau Pasal 372 KUHPidana yang ancaman pidananya pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah, Namun Penyidik Memaksakan Kehendaknya Menahan RSP Tentu berdasarkan Pasal 378 KUHPidana dan/atau Pasal 372 KUHPidana dan/atau Tindak pidana lain, sehingga menyebabkan hak-hak tersangka menjadi ilang dan RSP yang sedang merawat bayi berusia 5 (lima) tahun ditahan DIRUTAN POLDA BANTEN dari Tanggal 18 Oktober 2023 dan diperpanjang Sampai tanggal 16 Desember 2023.
Mohon dijadikan Catatan bahwa Pengalihn Obyek Jaminan Fidusia yang diduga dilakukan oleh RSP sepatutnya dilakukan oleh Penyidik RESKRIMSUS Polda Banten dan Bukan oleh Penyidik RESKRIMUM oleh karena kasus ini adalah Termasuk Tidak Pidana Khusus,dan patut diduga Penyidik tidak punya hati nurani dengan Menahan seseorang yang sedang merawat bayi berusia 5 (lima) Tahun sedangkan ancamannya Penjara Maksimal 2 (dua) Tahun sehingga Penyidik Reskrimum Polda Banten sebagai Penegak Hukum tidak selayaknya Melanggar Hukum sebagaimana dimaksud Pasal 21 (4) KUHAP yang menyatakan “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal :
a. tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih;
SEKIAN SEMOGA BERMANFAAT DAN TERIMA KASIH, SALAM SUPREMASI HUKUM
(Lutfi.R)